Kamis, 07 Februari 2008

AYO GABUNG DI ILMU-ILMU SOSIAL

KEHIDUPAN bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya
konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik-konflik itu pada dasarnya
merupakan produk dari sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik, sentralistik, dominatif, dan hegemonik. Sistem
tersebut telah menumpas kemerdekaan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya dalam wilayah sosial, ekonomi,
politik, maupun kultural.

Kemajemukan bangsa yang seharusnya dapat kondusif bagi pengembangan demokrasi ditenggelamkan oleh ideologi
harmoni sosial yang serba semu, yang tidak lain adalah ideologi keseragaman. Bagi negara kala itu, kemajemukan
dianggap sebagai potensi yang dapat mengganggu stabilitas politik. Karena itu negara perlu menyeragamkan setiap
elemen kemajemukan dalam masyarakat sesuai dengan karsanya, tanpa harus merasa telah mengingkari prinsip dasar
hidup bersama dalam kepelbagaian. Dengan segala kekuasaan yang ada padanya negara tidak segan-segan untuk
menggunakan cara-cara koersif agar masyarakat tunduk pada ideologi negara yang maunya serba seragam, serba
tunggal.

Perlakuan negara yang demikian itu kemudian diapresiasi dan diinternalisasi oleh masyarakat dalam kesadaran sosial
politiknya. Pada gilirannya kesadaran yang bias state itu mengarahkan sikap dan perilaku sosial masyarakat kepada
hal-hal yang bersifat diskriminatif, kekerasan, dan dehumanisasi.

Hal itu dapat kita saksikan dari kecenderungan xenophobia dalam masyarakat ketika berhadapan dengan elemen-elemen
pluralitas bangsa. Penerimaan mereka terhadap pluralitas kurang lebih sama dan sebangun dengan penerimaan negara
atas fakta sosiologis-kultural itu. Karena itu, subyektivitas masyarakat kian menonjol dan pada gilirannya menafikan
kelompok lain yang dalam alam pikirnya diyakini "berbeda". Dari sinilah konflik-konflik sosial politik memperoleh legitimasi
rasionalnya. Tentu saja untuk hal ini kita patut meletakkan negara sebagai faktor dominan yang telah membentuk pola
pikir dan kesadaran antidemokrasi di kalangan masyarakat.

Ketika negara mengalami defisit otoritas, kesadaran bias state masyarakat semakin menonjol dalam pelbagai pola
perilaku sosial dan politik. Munculnya reformasi telah menyediakan ruang yang lebih lebar bagi artikulasi pendapat dan
kepentingan masyarakat pada umumnya. Masalahnya, artikulasi pendapat dan kepentingan itu masih belum terlepas dari
kesadaran bias state yang mengimplikasikan dehumanisasi. Itulah mengapa kemudian muncul pelbagai bentuk tragedi
kemanusiaan yang amat memilukan seperti kita saksikan dewasa ini di Aceh, Ambon, Sambas, Papua, dan beberapa
daerah lain. Ironisnya lagi, ternyata ada the powerful invisible hand yang turut bermain dalam menciptakan tragedi
kemanusiaan itu.

JADI, reformasi yang tengah kita laksanakan sekarang ini harus mampu membongkar aspek struktural dan kultural yang
kedua-duanya saling mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kita tidak dapat semata-mata bertumpu kepada aspek
struktural atau sistem kekuasaan yang ada, melainkan harus pula melakukan dislearn atas wacana dan konstruksi
pemikiran masyarakat. Di sini kita sebenarnya berada dalam area dominasi dan hegemoni negara seperti yang
dibeberkan oleh Karl Marx dan Antonio Gramsci.

Repotnya, apa yang terjadi di Indonesia adalah reformasi, dan bukan revolusi sosial. Gerakan reformasi, karena sifatnya
yang moderat, cenderung berkompromi dengan anasir-anasir lama yang pro-status quo. Ini yang disebut Samuel P
Huntington sebagai konsekuensi reformasi. Sementara revolusi, karena sifatnya yang radikal, bersikap tegas dalam
menghadapi rezim kekuasaan yang lama dan anasir-anasir pro-status quo. Revolusi Bolshevik 1917 di bekas negara Uni
Soviet merupakan contoh dari ketegasan sikap para pemimpin gerakan revolusi terhadap anasir kekuatan lama.

Dalam era pandang revolusioner, struktur kekuasaan harus dibalik sedemikian rupa sehingga diujudkan struktur
kekuasaan yang benar-benar baru. Itulah mengapa kita rasakan perjalanan reformasi bangsa ini terasa menggemaskan
karena lambatnya. Seringkali kita memang tidak begitu sabar untuk menjadi seorang demokrat, namun untuk menjadi
seorang revolusioner sejati kita pun acap tidak punya nyali.

Kenyataan bahwa yang terjadi sekarang ini adalah reformasi menuntut segenap elemen dalam masyarakat untuk
mereposisi gerakannya agar lebih kondusif bagi akselerasi reformasi. Artinya, kita tidak dapat lagi menggunakan wacana
dan metode gerakan sebagaimana dilakukan pada masa kekuasaan Orde Baru. Gerakan sosial apa pun dalam
masyarakat harus mulai menyediakan alternatif-alternatif yang lebih konkret kepada para pengambil keputusan.

Mengapa demikian? Karena kekuasaan negara hari ini, meskipun struktur dan sistemnya masih Orde Baru, tetapi di
dalamnya mulai berlangsung dinamika yang lebih baik ke arah demokratisasi. Namun demikian ada dua soal yang harus
secara terus-menerus dipertegas. Pertama, political will dan konsistensi pemerintah baru untuk melaksanakan agenda
reformasi. Kedua, kesediaan masyarakat untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mempercepat jalannya agenda
reformasi.

Dalam konteks pengembangan kehidupan bangsa yang humanis, plural dan demokratis, baik pemerintah maupun
masyarakat bertanggung jawab untuk membongkar struktur dan kultur dalam masyarakat yang masih diskriminatif. Kita
tidak boleh lagi menyerahkan segala urusan kepada pemerintah sebagaimana yang sudah-sudah. Karena dengan begitu
kita sebagai warga negara akan semakin kehilangan peran strategis, sementara pemerintah akan semakin dominan.
Inilah momentum yang tepat bagi segenap warga negara Indonesia untuk berpartisipasi semaksimal mungkin dalam
mengarahkan dan mengendalikan proses transisi bangsa dan negara ini menuju demokrasi yang sejati, atau minimal
demokrasi yang stabil (stable democracy).

Senin, 19 November 2007